Jakarta, Prolkn.id – Rapat Paripurna DPR( Dewan Perwakilan Rakyat) dan pemerintah resmi mengesahkan perubahan kedua atas UU (Undang-Undang) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Selasa (05/12/2023).
Pengesahan tingkat dua itu diambil dalam rapat paripurna ke-10 (sepuluh) penutupan masa sidang II 2023-2024. Terdapat sejumlah pasal yang mengalami perubahan. Perubahan kedua Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) membuka peluang akun media sosial (medsos) ditutup jika dianggap melanggar.

Dilansir dari cnnindonesia.com, Ketua Panja (Panitia Kerja) RUU (Rancangan undang-undang) ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) Abdul Kharis Almasyhari menyebut jumlah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) berjumlah 38, rinciannya adalah yang terdiri atas usulan yang bersifat tetap 7 DIM, usulan perubahan redaksional 7 DIM, dan usulan perubahan substansial sebanyak 24 DIM. Selain itu, terdapat 16 DIM RUU usulan baru dari fraksi.
Beberapa aturan baru muncul, termasuk ketentuan soal kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), termasuk perusahaan pemilik media sosial seperti Meta, Twitter atau X, hingga perusahaan teknologi Google, wajib menuruti kemauan pemerintah.
“Penyelenggara Sistem Elektronik wajib melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2),” menurut pasal 40 A ayat (3).
Jika PSE tak manut, UU ITE menyiapkan sanksi berjenjang, yakni sanksi administratif, teguran tertulis, denda administratif, penghentian sementara, hingga pemutusan akses.
Apa saja yang bisa diperintahkan kepada PSE? UU ITE terbaru ini memasukkan aturan baru soal kewenangan penyidik menutup akun medsos dengan cara memerintahkan PSE.
Dalam Pasal 43 huruf (i) menyebut Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bisa “memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses secara sementara terhadap akun media sosial, rekening bank, uang elektronik, dan atau aset digital.”
Pasal 43 ayat (1) menyebut PPNS itu ada di “lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.” Saat masih berupa draf, pasal penutupan akun medsos ini mendapat kritik keras dari Koalisi Serius untuk Revisi UU ITE.
“Dengan ketentuan ini, negara bisa dengan mudah memutus akses terhadap informasi yang dianggap berbahaya,” menurut Koalisi.
“Ini diperkuat pemberian kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) memutus sementara akun media sosial, rekening, uang elektronik, dan aset digital dalam Pasal 43 ayat 5 huruf L.”
Koalisi, yang merupakan gabungan sejumlah LSM, termasuk Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), SAFEnet, LBH Jakarta, ELSAM, hingga Remotivi, ini menyebut Pemerintah tidak belajar dari kasus pemutusan akses internet di Papua pada 2019 yang akhirnya dinyatakan melanggar hukum oleh Mahkamah Agung.
“Jika disahkan, revisi kedua UU ITE ini justru akan menjadi landasan hukum bagi kesewenang-wenangan negara alih-alih melindungi hak asasi manusia,” menurut Koalisi.
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria mengatakan isu keluhan dijerat UU ITE tidak akan terjadi lagi usai revisi kedua ini.

“Di aturan itu hak-hak itu kelihatannya dilindungi. Jadi nanti selama bisa dibuktikan dan itu untuk kepentingan publik yang luas, dia terbebaskan dari jeratan itu,” kata dia, di Jakarta, Selasa (05/12/2023). dikutip dari cnnindonesia.com
“Kita harapkan penggunaannya lebih tepat,” imbuh Nezar.
Sebelum ada UU ITE terbaru, aturan pemblokiran akun media sosial memang memungkinkan dengan jalan Pemerintah mengajukan permintaan penutupan akun. Namun, platform terkait, atau PSE, masih bisa menimbang kesesuaiannya dengan aturan internal atau standar komunitas masing-masing.
Berdasarkan Informasi yang dirangkum, sejumlah perbedaan pasal dan substansi dari revisi UU ITE yang disahkan dalam rapat paripurna, sebagaimana berikut:
Penyelenggara sertifikasi elektronik asing ditiadakan (Pasal 13)
Pasal 13 mengatur soal penyelenggaraan sertifikasi elektronik. Awalnya, terdapat penyelenggara sertifikasi elektronik yang terdiri atas sertifikasi elektronik Indonesia dan asing. Namun kemudian, klausul penyelenggara sertifikasi elektronik asing ditiadakan.
Kemudian, ada tambahan pasal 13 yang berbunyi penyelenggara sertifikasi elektronik dapat menyelenggarakan layanan berupa tanda tangan elektronik, segel elektronik; penanda waktu elektronik;layanan pengiriman elektronik tercatat; autentikasi situs web; preservasi tanda tangan elektronik dan atau segel elektronik. Kemudian identitas digital dan atau layanan lain yang menggunakan sertifikat elektronik.
Perlindungan anak saat akses IT (Pasal 16 A)
Dalam beleid anyar ini, terdapat tambahan pasal yakni 16 A dan 16 B yang mengatur soal perlindungan bagi anak saat mengakses sistem elektronik.
Penyelenggara sistem elektronik wajib untuk menyediakan sejumlah informasi yang beberapa di antaranya:
a. informasi mengenai batasan minimum usia anak yang dapat menggunakan produk atau layanannya;
b. mekanisme verifikasi pengguna anak; dan
c. mekanisme pelaporan penyalahgunaan produk, layanan, dan fitur yang melanggar atau berpotensi melanggar hak anak.
Apabila tidak dipatuhi, penyelenggara sistem elektronik dapat dikenakan sanksi teguran tertulis, denda administratif, penghentian sementara, hingga pemutusan akses.
Pasal ‘karet’ perbuatan yang dilarang (Pasal 27)
Salah satu pasal yang mendapat perubahan adalah Pasal 27 yang dianggap sebagian orang sebagai pasal ‘karet’ karena tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan dipakai untuk menjerat dengan alasan pencemaran nama baik. Sejumlah pihak mengusulkan penghapusan pasal itu. Namun, dalam revisi kedua ini, pemerintah dan DPR hanya mengubah substansi pasal tersebut.
Dalam UU pertama, pasal 27 memiliki 4 ayat. Pasal ini mengatur tentang distribusi atau produksi informasi atau dokumen di ruang digital. Pasal itu melarang muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan dan pencemaran nama baik, serta pengancaman.
Namun dalam beleid anyar, pasal 27 dirampingkan menjadi 2 ayat yakni yang menyangkut soal muatan yang melanggar kesusilaan-ditambahi frasa untuk diketahui umum, serta tentang perjudian.
Pasal yang mengatur muatan penghinaan atau pencemaran nama baik dan pemerasan atau pengancaman terlihat ditiadakan. Namun, DPR dan pemerintah ternyata menyisipkan dua pasal tambahan yakni 27 A dan 27 B.
Pasal 27 A berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.”
Berita bohong menimbulkan kerusuhan (Pasal 28)
Dalam pasal 28, pemerintah dan DPR menyisipkan tambahan satu ayat. Selain larangan untuk menyebarkan berita bohong yang mengakibatkan kerugian dan juga larangan menyebarkan informasi kebencian dan permusuhan individu atau SARA. Terdapat imbuhan ayat (3) yang berbunyi.
“Setiap orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.”
Frasa pribadi di kasus ancaman kekerasan dihapus (Pasal 29)
Pasal 29 awalnya bermuatkan soal ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Kini pasal 29 berubah menjadi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti.”
Intervensi pemerintah ke sistem penyelenggara elektronik (Pasal 40 A)
Pemerintah menyisipkan pasal tambahan di antara pasal 40 dan 41. Pasal 40 A mengatur soal intervensi pemerintah.
Dalam ayat (2) dijelaskan bahwa pemerintah berwenang memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan penyesuaian pada atau melakukan tindakan tertentu guna mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif.
“Penyelenggara Sistem Elektronik wajib melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2),” demikian bunyi pasal 40 A ayat (3).
Apabila penyelenggara sistem elektronik melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud, maka bisa dikenai sanksi administratif; teguran tertulis; denda administratif penghentian sementara hingga pemutusan akses.
Penyidik bisa tutup akun medsos seseorang sepihak (Pasal 43)
Pasal 43 mengatur soal penyidikan. Selain penyidik pejabat Polisi, pejabat ASN tertentu di lingkungan pemerintah yang relevan di bidang ITE juga diberi wewenang untuk melakukan intervensi dalam hal penyidikan.
Di antaranya menerima laporan, memanggil dan memeriksa saksi hingga tersangka. Melakukan pemeriksaan alat, melakukan penggeledahan, hingga melakukan penghentian penyidikan.
Dalam revisi UU ITE jilid II ini, DPR dan pemerintah menambahkan klausul baru dalam huruf (i) yang berbunyi, “memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses secara sementara terhadap akun media sosial, rekening bank, uang elektronik, dan atau aset digital.”
Pelanggar informasi kesusilaan dan pencemaran nama baik bisa tak dipidana dengan syarat (Pasal 45)
Pasal 45 mengatur soal ketentuan pidana. Asa sejumlah perubahan, di antaranya beberapa orang yang melanggar Pasal 27 tidak dikenakan pidana asalkan dengan sejumlah kondisi.
Misalnya, setiap orang yang mendistribusikan informasi kesusilaan dipidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar. Namun dalam beleid anyar ini ada sejumlah tambahan pengecualian.
“Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipidana dalam hal: a. dilakukan demi kepentingan umum; b. dilakukan untuk pembelaan atas dirinya sendiri; atau, c. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan.”
Kasus lain, setiap orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk elektronik dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda maksimal Rp400 juta.
Dalam revisi kedua UU ITE, ada pengecualian bagi mereka agar tidak dipidana. Yakni perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan umum atau dilakukan karena terpaksa membela diri.
Selanjutnya ada tambahan klausul dalam pasal 45 A. Pemerintah dan DPR menambahkan keterangan sanksi pidana bagi masyarakat yang memuat pemberitahuan bohong dan menimbulkan kerusuhan di masyarakat dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak Rp 1 miliar. (*/red)