Jakarta, ProLKN.id – Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengakui bahwa BPJS Kesehatan mengalami defisit pada 2024. Namun, ia mengaku keuangan BPJS Kesehatan masih sehat.
Ali Ghufron Mukti menjelaskan bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53/2018, kondisi keuangan BPJS Kesehatan telah diperbaiki dibandingkan sebelumnya.
“BPJS itu sekarang dalam keadaan sehat. Sehat walafiat,” ujar Ali saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (19/3/2025). Ali menuturkan, ada kecenderungan utilitas atau pengguna layanan BPJS Kesehatan meningkat sehingga biaya naik. “Sehingga unit cost-nya juga meningkat. Premi yang kami kumpulkan kurang bisa menutup itu,”ungkap Ali.
Namun demikian, AGhufron mengakui adanya tren peningkatan pemanfaatan layanan (utilisasi) yang menyebabkan biaya per unit layanan (unit cost) meningkat. Ghufron juga menyoroti fenomena inflasi medis yang dapat berdampak pada pembiayaan kesehatan. Dia mengatakan bahwa inflasi medis itu setiap saat terjadi. Namun umumnya inflasi medis itu lebih tinggi daripada inflasi umum.

“Tetapi di Indonesia sebenarnya tidak sepenuhnya seperti itu. Kalau di luar negeri kan bisa 11%. Inflasi medisnya ya. Inflasi umum mungkin 6%. Indonesia bisa kurang daripada itu,” kata Ali Ghufron Namun, menurutnya, pendapatan dari iuran peserta yang dikumpulkan oleh BPJS Kesehatan belum sepenuhnya mampu menutupi kenaikan biaya layanan kesehatan.
“Premi yang kami kumpulkan kurang bisa menutup itu. Jadi suatu ketika kami semua bisa mati [defisit]. Itu harus disadari kalau suatu ketika. Suatu ketika BPJS juga bisa defisit. Tidak sehat. Kalau enggak disesuaikan,” tegasnya.
Ali Ghufron menegaskan bahwa BPJS Kesehatan tidak memiliki kewenangan untuk menentukan atau mengimplementasikan kenaikan iuran. Menurutnya, hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59, dan BPJS Kesehatan masih menunggu keputusan lebih lanjut terkait penyesuaian iuran. “Sekarang sedang disesuaikan, diatur di dalam Peraturan Presiden 59,” katanya.
BPJS Kesehatan sempat melaporkan adanya actuarial loss ratio atau rasio kerugian aktuaria makin melebar. Kondisi tersebut menunjukan klaim atau biaya manfaat yang dibayarkan badan publik tersebut lebih besar apabila dibandingkan dengan pendapatan premi yang diterima.
Dikutip dari Bisnis.com Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan Mahlil Ruby mengatakan rasio kerugian aktuaria sudah mencapai di atas 100%.
“Terjadi death cross pada 2023 kemarin, artinya sejak 2023 antara biaya [yang dikeluarkan] dengan premium [iuran], itu sudah lebih tinggi biaya. Maka actuarial loss ratio yang kita sebut adalah menjadi di atas 100%. Ini makin tinggi terus,” kata Mahlil dalam peluncuran buku tabel morbiditas penduduk Indonesia yang digelar BPJS Kesehatan dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Senin (11/11/2024).
Kondisi tersebut, menurut Mahlil, bisa mengancam ketahanan Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS Kesehatan. Dengan ketidaktahanan tersebut, ada potensi defisit karena biaya operasional lebih besar dibandingkan pendapatannya.
Ali Ghufron juga tidak terlalu mempersoalkan inflasi medis yang kemungkinan menambah beban BPJS Kesehatan. “Inflasi medis itu setiap saat terjadi. Setiap saat. Tapi umumnya, inflasi medis itu lebih tinggi daripada inflasi umum,” jelas Ali.
Mengutip dari Kontan, BPJS Kesehatan mencatatkan defisit sebesar Rp 9,56 triliun pada tahun 2024. Berdasarkan data paparan Ali Ghufron saat rapat kerja (raker) bersama Komisi IX DPR pada 12 Februari 2025, defisit dihitung dari pendapatan BPJS Kesehatan yang mencapai Rp 165,73 triliun pada 2024. Sementara itu, beban jaminan kesehatan mencapai Rp 174,90 triliun. Artinya, bila dikurangi antara pendapatan dan beban jaminan kesehatan, terjadi defisit sebesar Rp 9,56 triliun.
(*/red)