Jakarta, ProLKN.id – Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Mufthi Mubarok, melayangkan kritik tajam terhadap kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait pemblokiran rekening dormant.
Menurut BPKN, langkah PPATK ini tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga diduga kuat melanggar lima undang-undang sekaligus. Kelima undang-undang yang disinggung antara lain Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM), Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, Undang-Undang Konsumen, serta Undang-Undang Perbankan.
“Kami melihat ini PPATK selain mencederai kami, PPATK juga telah melanggar lima Undang-Undang sekaligus,” ujar Mufthi dalam sebuah forum diskusi bisnis yang disiarkan Kompas TV.

Ia menambahkan bahwa BPKN menerima banyak keluhan dari nasabah yang rekeningnya diblokir secara mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Mufthi menyoroti praktik pemblokiran yang dinilainya tidak adil.
“Bayangkan saja, mereka tidak bisa bertransaksi dan tidak diberitahu juga apakah dia masuk dalam dugaan kejahatan. Masa karena satu atau dua yang diduga, tapi semua yang diblokir itu tidak fair,” keluhnya.
Situasi ini tentu menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, mengingat rekening bank merupakan sarana vital untuk berbagai transaksi keuangan sehari-hari.
Kebijakan pemblokiran rekening dormant oleh PPATK ini memang menjadi sorotan publik. Hingga kini, PPATK tercatat telah memblokir sekitar 140.000 rekening yang masuk kategori dormant, dengan nilai total mencapai Rp428 miliar. Angka ini menunjukkan skala pemblokiran yang cukup masif dan berpotensi berdampak luas pada aktivitas ekonomi masyarakat.
Menanggapi hal ini, BPKN mendesak PPATK untuk mengevaluasi ulang atau bahkan membatalkan kebijakan pemblokiran rekening dormant yang dianggap sepihak. Alasan utama BPKN adalah potensi kerugian yang dialami konsumen akibat pemblokiran tersebut, serta dugaan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen yang dilindungi oleh undang-undang.
Salah satu kekhawatiran terbesar adalah dampaknya terhadap kepercayaan publik terhadap sektor perbankan. Kebijakan yang dinilai meresahkan ini berpotensi merusak citra dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan. Ironisnya, di satu sisi ada upaya perlindungan konsumen, namun di sisi lain, kebijakan pemblokiran rekening dormant justru menimbulkan kegelisahan baru bagi para nasabah bank.
BPKN juga meminta PPATK untuk menghentikan praktik pemblokiran rekening secara sepihak. Mereka berpendapat bahwa proses pemblokiran haruslah transparan dan didahului dengan pemberitahuan yang jelas kepada nasabah. Hal ini sejalan dengan prinsip perlindungan konsumen yang mengedepankan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang memadai dan perlindungan dari praktik yang merugikan.
Bahkan, isu pemblokiran rekening dormant ini sampai terdengar ke telinga Presiden. Bos PPATK dipanggil menghadap Presiden untuk memberikan penjelasan terkait kebijakan yang menimbulkan keresahan di masyarakat. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya persoalan ini dan bagaimana dampaknya bisa meluas hingga ke tingkat pemerintahan tertinggi.
Di sisi lain, ada laporan yang menyebutkan bahwa kebijakan pemblokiran rekening dormant ini memiliki efek signifikan pada industri tertentu. Salah satu contohnya adalah penurunan drastis pada deposit judi online (judol) yang dilaporkan anjlok hingga 70%. Meskipun tidak secara langsung berkaitan dengan rekening dormant pada umumnya, hal ini menunjukkan bagaimana tindakan PPATK dalam mengontrol pergerakan dana dapat memiliki dampak yang luas pada berbagai sektor, termasuk yang bersifat ilegal.
PPATK sendiri memiliki kewenangan untuk memblokir rekening yang diduga terkait dengan tindak pidana pencucian uang atau pendanaan terorisme. Namun, definisi rekening dormant yang diblokir oleh PPATK perlu dikaji lebih dalam. Rekening dormant umumnya merujuk pada rekening yang tidak aktif dalam jangka waktu tertentu, biasanya beberapa tahun, dan tidak memiliki transaksi. Kapan rekening tersebut bisa diblokir oleh PPATK menjadi pertanyaan penting yang perlu dijawab secara jelas untuk menghindari kesalahpahaman dan dampak negatif yang tidak diinginkan.
Berdasarkan berbagai sumber, PPATK pernah membuka kembali sekitar 28 juta rekening yang sempat diblokir karena statusnya sebagai rekening “menganggur”. Fakta ini semakin memperkuat argumen bahwa kebijakan pemblokiran rekening dormant sejak awal terbukti bermasalah. Hal ini mengindikasikan adanya kekeliruan dalam penerapan kebijakan atau kurangnya kajian mendalam sebelum kebijakan tersebut diberlakukan.
BPKN juga secara spesifik meminta PPATK dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk meninjau ulang kebijakan blokir rekening “dormant”. Kolaborasi antara PPATK dan OJK dalam hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan benar-benar efektif, sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan tidak merugikan masyarakat.
Tindakan PPATK dalam pembekuan rekening nasabah memang memerlukan eksaminasi yang cermat. Ada kekhawatiran bahwa proses ini bisa disalahgunakan atau diterapkan secara tidak proporsional, sehingga menimbulkan kerugian yang tidak perlu bagi nasabah. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tindakan PPATK menjadi sangat krusial.
Mengingat keluhan yang terus berdatangan dan kritik keras dari BPKN, serta potensi pelanggaran undang-undang yang disangkakan, sudah selayaknya PPATK segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pemblokiran rekening dormant.
Pembatalan pemblokiran yang bersifat sepihak dan tanpa pemberitahuan adalah langkah awal yang penting untuk mengembalikan kepercayaan publik dan memastikan bahwa perlindungan konsumen tetap menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga negara.
(*/red)