Batam, Prolkn.id- Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyoroti kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya yang buruk. Namun, ia heran perbandingan kualitas udara antara Batam dan Singapura yang berbeda.
Dilansir dari detikfinance, berdasarkan data Air Quality Index (AQI), kualitas udara di Batam tercatat kuning. Sedangkan di beberapa titik Singapura cenderung hijau.
“Jakarta hari ini konon dianjurkan untuk 50% kerja dari rumah, work from home, dan Pemerintah DKI memulainya karena kualitas udara kita cukup buruk. Dan memang saya juga rasa aneh sekali, Batam memang agak sedikit orange, tapi Singapura hijau banget. Itu aneh, berdekatan,” kata Suharso, dalam acara Dialog Nasional Antisipasi Dampak Perubahan untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045, di Kantor Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta Pusat, Senin (21/8/2023).
Suharso juga menyoroti kualitas udara di beberapa daerah di Bali yang disebutnya aman. Namun, ada juga beberapa daerah yang kualitas udaranya lampu kuning.
“Di Bali apalagi juga, saya lihat juga keadaan udaranya. Saya kira Bali bisa aman-aman saja, kecuali daerah Nusa Dua, Jimbaran, sampai ke arah sana. Tapi begitu Badung, kemudian Karangasem sampai Denpasar itu merah dan orange, dan memang traffic di sana luar biasa padat,” katanya.
“Tak kurang Pak Jokowi kemarin ada sedikit mendehem-dehem, batuk-batuk. Dia sering melakukan perjalanan di luar Jakarta, luar istana maksud saya dan mengalami itu. Ini pernyataan besar buat kita. Bagaimana kita bisa mengatasi ini,” sambungnya.
Oleh karena itu, iklim dan perubahan cuaca menjadi perhatian pemerintah Indonesia, termasuk para pemimpin dunia. Suharso mengatakan, berdasarkan laporan IPCC, suhu rata-rata permukaan bumi pun terus mengalami peningkatan dan kini sudah mencapai di atas 1,09 derajat C kenaikannya dibandingkan periode tahun 1850 ke 1900.
Selain itu, per 18 Agustus 2023 kemarin tercatat konsentrasi CO2 global di atmosfer mencapai 419,55 parts per million atau naik 6,3% dibandingkan dengan 2011. Ini juga disertai dengan kenaikan muka air laut 3 kali lipat dari 1900-1971 akibat mencairnya lapisan es di kutub.
“Dengan meningkatnya suhu di atas 1 derajat C, semua sistem kehidupan akan terganggu, ketersediaan SDA berkurang, potensi kekeringan tentu akan naik. Dan dalam situasi seperti itu wabah penyakit dan bencana alam mudah hadir, dan diperkirakan lebih dari 100 juta penduduk dunia akan miskin. Dan bahkan menurut LOST yang dua-tiga hari ini ada pertemuannya di Swedia terkait air dunia, ada 4,8-5,7 miliar penduduk akan mengalami kekurangan air pada 2050,” ujarnya.
“Akhirnya saya ingin menekankan peningkatan resiliensi pada perubahan iklim akan memberi pengaruh positif pada kapasitas kita menyongsong Indonesia Emas 2045, karena itu kita harus mendorong basis pengetahuan terkait perubahan iklim dan dampaknya terkait berbagai kebijakan,” pungkasnya.(*/red)