Jakarta, ProLKN.id – Isu pajak penghasilan (PPh) progresif yang dikenakan pada uang pesangon dan pensiun kembali mencuat setelah dua pekerja swasta mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Besaran pesangon karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) kembali disorot setelah dua karyawan swasta mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap ketentuan pajak penghasilan (PPh) yang menjadikan uang pesangon dan pensiun sebagai objek pajak progresif.
Isu ini memicu diskusi luas di kalangan masyarakat dan komunitas hukum, terutama terkait kewajaran sistem perpajakan yang dianggap tidak mempertimbangkan kondisi khusus pekerja yang telah mengabdikan diri seumur hidup.
Mereka menilai kebijakan tersebut tidak adil bagi pekerja yang telah mengabdi puluhan tahun, terlepas dari apakah mereka diberhentikan secara sukarela atau terpaksa karena PHK.
Permohonan diajukan oleh Rosul Siregar dan Maksum Harahap terhadap Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) juncto UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Kedua pasal itu dinilai menempatkan pesangon dan pensiun sebagai tambahan penghasilan baru, padahal menurut pemohon, keduanya merupakan hak normatif pekerja yang terkumpul selama masa kerja melalui kontribusi rutin selama bertahun-tahun.
Pemohon berargumentasi bahwa uang pesangon dan pensiun seharusnya dianggap sebagai kompensasi untuk kehilangan pekerjaan atau pensiun, bukan sebagai penghasilan yang bisa dikenai pajak progresif seperti gaji bulanan.
Dikutip dari finansial.bisnis.com Kuasa hukum pemohon, Ali Mukmin, menyebut negara seharusnya tidak memperlakukan pesangon dan pensiun sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang bisa dikenai pajak tinggi.
Ia menegaskan bahwa kebijakan pajak ini bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang telah diakui dalam alasan pembuka UUD 1945, yang menekankan perlindungan terhadap rakyat yang lemah dan rentan.
“Pajak pesangon, pajak pensiun, itu sudah puluhan tahun dikumpulkan oleh para pekerja tiba-tiba kok disamakan dengan pajak penghasilan progresif,” ujarnya dalam sidang di Jakarta, (6/10/2025) kemarin.
Pernyataan ini menyoroti ketidaksesuaian antara kebijakan pajak yang berlaku dan realitas sosial pekerja yang memaksa pensiun atau PHK tanpa kesempatan membangun aset tambahan.

Pemohon berpendapat bahwa penerapan pajak progresif tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Mereka menekankan bahwa sistem perpajakan harus mempertimbangkan perbedaan kemampuan ekonomis antara pekerja produktif yang masih memiliki penghasilan tetap dan kelompok rentan yang kehilangan sumber pendapatan utama.
Beban pajak menjelang pensiun dinilai mencederai prinsip keadilan karena menyamakan kelompok rentan dengan kelompok pekerja produktif, padahal pekerja pensiunan atau korban PHK tidak lagi memiliki kemampuan untuk menghasilkan uang setara dengan tenaga kerja aktif.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan pasal-pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap pesangon, uang pensiun, tabungan hari tua (THT), dan jaminan hari tua (JHT). Mereka juga meminta pemerintah menyesuaikan sistem perpajakan agar selaras dengan konstitusi, dengan menekankan pentingnya transparansi dan keterlibatan publik dalam revisi kebijakan.
Sidang perdana perkara Nomor 170/PUU-XXIII/2025 itu dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah. Majelis memberi waktu 14 hari bagi pemohon untuk memperbaiki berkas permohonan sesuai PMK No. 7/2025 tentang Tata Beracara dalam Pengujian Undang-Undang.
Keputusan MK dalam perkara ini diharapkan bisa menjadi preseden penting dalam menentukan perlakuan pajak terhadap hak pekerja yang diakumulasikan selama masa kerja.
Besaran Pesangon PHK Karyawan dan Buruh 2025 Dengan kondisi ini, lalu sebenarnya berapa pesangon yang menjadi hak karyawan jika terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan baik dalam rangka pensiun ataupun di tengah jalan? Regulasi PHK mencatat perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak berdasarkan upah terakhir yang diterima pekerja.
Perhitungan ini menjadi acuan bagi perusahaan dalam menentukan kompensasi yang wajib diberikan sesuai ketentuan undang-undang, namun seringkali menjadi sumber kontroversi karena perbedaan interpretasi antara pemberi kerja dan pekerja.
Upah yang menjadi dasar perhitungan adalah upah pokok dan tunjangan tetap, yang mencakup komponen inti seperti gaji pokok, tunjangan keluarga (istri, anak), dan tunjangan perumahan jika dibayarkan secara tetap setiap bulan.
Hak ini memastikan pekerja menerima kompensasi yang mencerminkan kontribusi mereka selama masa kerja, termasuk pengabdian terhadap perusahaan dan keluarga. Sedangkan besaran perhitungan terdiri dari komponen pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak:
1. Pesangon Bagi Pekerja yang Kena PHK atau Pensiun:
– Masa kerja <1 tahun → 1 bulan upah
– Masa kerja 1–<2 tahun → 2 bulan upah
– Masa kerja 2–<3 tahun → 3 bulan upah
– Masa kerja 3–<4 tahun → 4 bulan upah
– Masa kerja 4–<5 tahun → 5 bulan upah
– Masa kerja 5–<6 tahun → 6 bulan upah
– Masa kerja 6–<7 tahun → 7 bulan upah
– Masa kerja 7–<8 tahun → 8 bulan upah
– Masa kerja ≥8 tahun → 9 bulan upah
Skema ini dirancang untuk memberikan perlindungan finansial sementara bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan, dengan kenaikan proporsional terhadap lama masa kerja. Namun, banyak pekerja mengeluh bahwa besaran ini sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama proses mencari pekerjaan baru, terutama di kota besar dengan biaya hidup tinggi.
2. Uang Penghargaan Masa Kerja
– Masa kerja 3–<6 tahun → 2 bulan upah
– Masa kerja 6–<9 tahun → 3 bulan upah
– Masa kerja 9–<12 tahun → 4 bulan upah
– Masa kerja 12–<15 tahun → 5 bulan upah
– Masa kerja 15–<18 tahun → 6 bulan upah
– Masa kerja 18–<21 tahun → 7 bulan upah
– Masa kerja 21–<24 tahun → 8 bulan upah
– Masa kerja ≥24 tahun → 10 bulan upah
Komponen ini dianggap sebagai bentuk apresiasi terhadap dedikasi pekerja terhadap perusahaan, dengan peningkatan signifikan untuk pekerja yang telah mengabdi hingga 24 tahun atau lebih. Namun, ada kritik bahwa skema ini tidak sepenuhnya mencerminkan kontribusi nyata pekerja, terutama jika mereka diberhentikan karena PHK yang tidak terkait kinerja.
3. Uang Penggantian Hak
– Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
– Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat asal.
– Ketentuan lain sesuai perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Komponen ini memastikan pekerja menerima hak-hak yang belum dipenuhi selama masa kerja, termasuk hak untuk berlibur atau hak repatriasi. Namun, implementasi praktis sering kali bergantung pada kebijakan perusahaan, sehingga ada ketimpangan antara perusahaan besar yang taat aturan dan perusahaan kecil yang cenderung mengabaikan hak pekerja.
Ketentuan ini diatur dalam UU Cipta Kerja, yang bertujuan mempermudah investasi namun sering dikecam karena dinilai merugikan pekerja. Kritik terhadap UU ini mencakup kewajiban perusahaan yang lebih ringan dalam memberikan perlindungan terhadap buruh, termasuk pesangon dan tunjangan pensiun.
Dalam konteks ini, gugatan ke MK diharapkan bisa merumuskan interpretasi hukum yang lebih adil, terutama jika dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dalam konstitusi.
(Abd/Tim)
















