Jakarta, ProLKN.id – Massa yang tergabung dalam Suara Ibu Peduli Makan Bergizi Gratis (MBG) menggelar aksi unjuk rasa untuk menanggapi pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai kasus keracunan yang terjadi dalam program tersebut.
Mereka secara khusus mengkritik pernyataan Presiden yang menyebut angka kasus keracunan hanya sekitar 0,0017 persen dari total penerima manfaat. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk kekecewaan atas minimnya penekanan pemerintah terhadap dampak nyata yang dialami korban.
Yuli Supriati dari Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat menegaskan bahwa isu keracunan tidak bisa disederhanakan hanya melalui angka statistik semata.
Baginya, nyawa manusia, terutama anak-anak, memiliki nilai tak terhingga yang tidak bisa diukur dengan persentase kecil. Jika terjadi keracunan hingga menyebabkan kematian atau disabilitas, pihak yang bertanggung jawab atas insiden tersebut menjadi pertanyaan krusial.
“Kita bicara nyawa, jangan bicara hanya sekian persen. Satu anak itu sangat berharga. Kalau ada yang keracunan sampai meninggal atau mengalami disabilitas, siapa yang bertanggung jawab?” kata Yuli dalam aksi di kawasan Monas, dikutip dari kompas.com Rabu (01/10/2025).
Pemerintah sendiri, melalui Presiden Prabowo, telah memastikan bahwa program MBG akan terus berjalan meskipun mengakui adanya kekurangan.
Presiden Prabowo menyebutkan bahwa dari hampir 30 juta penerima manfaat dan lebih dari 1 miliar paket makanan yang telah disalurkan, deviasi atau penyimpangan berupa kasus keracunan dianggap relatif kecil. Namun, kritik terus mengalir bahwa fokus seharusnya bukan pada persentase, melainkan pada pencegahan total.
Salah satu sorotan utama dari aksi unjuk rasa adalah ketiadaan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas dan baku untuk menangani kasus keracunan MBG.
Akibatnya, ketika insiden terjadi, sering terjadi kebingungan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab.

Yuli Supriati menjelaskan bahwa ketidakjelasan SOP menyebabkan pihak-pihak terkait, seperti sekolah, rumah sakit, hingga pemerintah daerah, kerap saling melempar tanggung jawab. Situasi ini merugikan orang tua murid yang menuntut pertanggungjawaban atas dampak yang menimpa anak mereka. Berita mengenai keracunan pun seringkali simpang siur karena tidak ada panduan penanganan yang terpusat.
Menanggapi hal ini, Presiden Prabowo telah menginstruksikan perbaikan prosedur dan meminta agar dapur penyedia makanan dibenahi. Langkah ini termasuk melengkapi dapur MBG dengan fasilitas cuci yang memadai, filter air, test kit, serta memberikan pelatihan khusus kepada juru masak. Tujuannya adalah memastikan keamanan makanan yang disalurkan.
Meskipun menghadapi kritik keras terkait penanganan kasus keracunan, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa program Makan Bergizi Gratis akan tetap berjalan. Penegasan ini disampaikan saat acara akad massal KPR FLPP di Cileungsi, Bogor. Presiden Prabowo mengakui adanya kekurangan dalam pelaksanaan, termasuk kasus keracunan, namun ia berpendapat bahwa penyimpangan tersebut berada dalam batas toleransi statistik.
Namun, tuntutan dari kelompok masyarakat sipil seperti Suara Ibu Peduli adalah agar program tersebut dievaluasi secara menyeluruh sebelum dilanjutkan secara masif. Mereka tidak menolak manfaat program secara keseluruhan, tetapi menekankan bahwa keamanan dan ketepatan sasaran harus menjadi prioritas utama. Evaluasi mendalam dinilai penting agar anak-anak Indonesia tidak terus menjadi korban ketidaksempurnaan sistem.
Dalam konteks evaluasi, Presiden Prabowo Subianto sendiri telah mengumpulkan para menteri dan kepala badan terkait untuk membahas kelanjutan dan perbaikan program MBG. Istana juga telah menyatakan bahwa mereka akan melakukan evaluasi mendalam terkait maraknya keracunan menu MBG yang terjadi di beberapa sekolah.
Penanganan Kasus Keracunan dan Klaim Persentase
Presiden Prabowo sempat memberikan beberapa pernyataan terkait maraknya kasus keracunan. Salah satu pernyataan yang paling disorot adalah ketika ia menyebutkan bahwa dari 3 juta penerima manfaat pada waktu itu, hanya sekitar 200 orang yang mengalami keracunan. Data ini kemudian dikontekstualisasikan menjadi persentase yang sangat kecil.
Angka 0,0017 persen ini berulang kali disebutkan oleh Presiden, bahkan ada perhitungan lain yang menyebutkan angka 0,00017 persen dari total penerima manfaat yang lebih besar. Meskipun angka persentase yang disajikan berbeda tipis, inti pesannya adalah bahwa insiden keracunan merupakan penyimpangan minor dalam skala program yang sangat besar. Presiden juga meminta agar masyarakat waspada agar isu ini tidak dipolitisasi.
“Deviasi itu adalah ternyata 0,0017, cukup membanggakan apa yang kita hasilkan,” ujar Prabowo.
Di sisi lain, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) turut mengingatkan pentingnya penanganan yang benar setiap kali kasus keracunan usai makan MBG berulang. Hal ini menunjukkan bahwa kekhawatiran tidak hanya datang dari masyarakat sipil, tetapi juga dari pakar kesehatan yang peduli terhadap dampak jangka panjang pada kesehatan anak.
Meskipun Presiden Prabowo Subianto telah berkomitmen melanjutkan program sambil melakukan perbaikan pada dapur dan prosedur, desakan publik agar program dievaluasi secara mendalam sebelum diperluas tetap kuat. Kelanjutan program MBG bergantung pada kemampuan pemerintah dalam menjamin keamanan pangan dan menetapkan mekanisme pertanggungjawaban yang transparan bagi setiap insiden keracunan yang terjadi di masa depan.
(*/red)