Jakarta, ProLKN.id – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah memberikan perlindungan hukum yang cukup bagi wartawan, karena pasal tersebut tidak hanya berfungsi sebagai jaminan atas kemerdekaan pers, tetapi juga sebagai bentuk perlindungan hukum yang sistematis, terukur, dan sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum yang berlaku di Indonesia.
DPR melihat bahwa Pasal 8 bukanlah suatu bentuk imunitas hukum yang mutlak bagi wartawan, melainkan merupakan bagian dari kerangka perlindungan yang lebih luas terhadap profesi jurnalistik, yang mencakup aspek-aspek seperti fungsi, hak, kewajiban, dan peran wartawan dalam menjalankan tugas sosialnya sebagai pengawas kekuasaan dan penyampai informasi yang akurat dan objektif.
DPR juga menolak dalil pemohon, Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) yang menilai pasal tersebut multitafsir dan memerlukan tafsir baru soal perlindungan wartawan, karena menurut DPR, interpretasi terhadap Pasal 8 telah jelas dan telah dijelaskan secara rinci dalam risalah pembahasan Undang-Undang Pers serta dalam konteks hukum nasional yang berlaku secara konsisten sejak undang-undang tersebut diberlakukan.
Hal tersebut disampaikan anggota Komisi III DPR dari Fraksi NasDem, Rudianto Lallo saat membacakan keterangan resmi DPR dalam gugatan UU Pers di Mahkamah Konstitusi (MK), di mana ia menekankan bahwa keberadaan Pasal 8 bukanlah bentuk pembebasan dari tanggung jawab hukum, melainkan sebagai bentuk jaminan bahwa wartawan dapat menjalankan profesinya tanpa adanya ancaman, intimidasi, atau penghalangan dari pihak manapun, asalkan tetap menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ia menyampaikan Pasal 8 UU Pers tidak dimaksudkan sebagai bentuk imunitas hukum bagi wartawan, melainkan jaminan perlindungan dalam menjalankan profesi sesuai peraturan yang berlaku, termasuk dalam konteks kewajiban etika jurnalistik dan tanggung jawab sosial yang melekat pada profesi tersebut.
“Jika ditelaah berdasarkan risalah pembahasan Undang-Undang Pers, ketentuan pasal 8 bukanlah dimaksudkan sebagai bentuk imunitas, melainkan sebagai bentuk perlindungan hukum bagi wartawan dalam menjalankan profesi, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya,” ujar Rudianto dalam sidang di MK, Jakarta, Rabu (29/10/2025).
Menurut Rudianto, prinsip dasar negara hukum tetap berlaku bagi semua warga negara, termasuk wartawan, dan tidak ada pihak yang dikecualikan dari pertanggungjawaban hukum jika melakukan perbuatan melawan hukum, baik secara pidana maupun perdata. Ia menegaskan bahwa wartawan yang melaksanakan profesinya dijamin oleh peraturan perundang-undangan ialah terkait kemerdekaan pers, bukan suatu bentuk imunitas atau kebal hukum yang mutlak.
Dengan kata lain, kebebasan pers yang dijamin dalam UU Pers tidak boleh disalahartikan sebagai hak yang bebas dari konsekuensi hukum, terutama jika tindakan jurnalistik tersebut melibatkan pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong, atau pelanggaran terhadap hak orang lain. Oleh karena itu, perlindungan hukum yang diberikan oleh Pasal 8 tidak berarti bahwa wartawan tidak dapat dituntut secara hukum jika terbukti melakukan pelanggaran, melainkan sebagai jaminan bahwa proses hukum yang dilakukan terhadap wartawan harus dilakukan secara adil, transparan, dan berdasarkan bukti yang sah, tanpa ada unsur diskriminatif atau penyalahgunaan kekuasaan.
Rudianto menjelaskan perlindungan bagi wartawan sudah diatur secara sistematis dalam sejumlah pasal lain di UU Pers, seperti Pasal 3, 4, 5, 15, dan 18 ayat (1) yang secara eksplisit melarang penghalangan kerja jurnalistik serta menjamin fungsi, hak, dan kewajiban pers. Pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa setiap upaya untuk menghambat atau menghalangi proses kerja jurnalistik, baik melalui ancaman, paksaan, maupun penganiayaan, merupakan tindakan yang melanggar hukum dan dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan undang-undang.
“Kepastian hukum dalam bentuk ketentuan pasal mengenai fungsi, hak, kewajiban pers, serta larangan menghambat atau menghalangi hak pers merupakan bagian dari bentuk konkret perlindungan hukum bagi profesi wartawan,” katanya, menekankan bahwa perlindungan hukum tidak hanya bersumber dari Pasal 8, tetapi juga diwujudkan secara komprehensif melalui berbagai mekanisme hukum yang telah diatur dalam UU tersebut.
Menurutnya, perlindungan hukum terhadap wartawan tidak hanya bersumber dari Pasal 8, tetapi juga diwujudkan melalui mekanisme Dewan Pers yang memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa jurnalistik secara adil, transparan, dan berbasis kode etik jurnalistik.
Dewan Pers, sebagai lembaga independen yang dibentuk berdasarkan UU Pers, memiliki peran strategis dalam menangani pelanggaran etika, memberikan saran, serta melindungi wartawan dari ancaman atau tindakan represif yang dapat mengganggu kinerja jurnalistik.
“Dewan Pers mampu memberikan perlindungan secara nyata. Hal ini menjadi bukti konkret bahwa Undang-Undang Pers telah memberikan perlindungan hukum bagi wartawan, tidak hanya berdasarkan pasal 8 saja, tetapi juga melalui institusi yang telah dibentuk secara sah dan berfungsi secara konsisten dalam melindungi profesi jurnalistik,” katanya.
Lebih lanjut, Rudianto mengatakan peran besar pers dalam demokrasi harus diiringi dengan tanggung jawab dan profesionalisme, terutama di tengah era disrupsi informasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi digital, penyebaran hoaks, dan manipulasi narasi. Ia menekankan bahwa pers tidak cukup hanya berpegang pada prinsip kemerdekaan, kebebasan, dan independensi semata, namun juga harus disertai tanggung jawab terhadap kebenaran informasi, keadilan, dan kepentingan publik.
“Pers tidak cukup hanya berpegang pada prinsip kemerdekaan, kebebasan, dan independensi semata, namun juga harus disertai tanggung jawab,” ujarnya mengutip pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 38/PUU-XIX/2021, yang menekankan bahwa kemerdekaan pers harus sejalan dengan tanggung jawab sosial dan etika profesi.
Dalam konteks ini, perlindungan hukum bagi wartawan bukan berarti kebebasan mutlak dari kritik atau pertanggungjawaban, melainkan jaminan bahwa mereka dapat bekerja secara aman dan bebas dari intimidasi, tanpa mengurangi kewajiban mereka untuk bertindak secara profesional dan akuntabel.
Atas dasar itu, DPR meminta MK menolak seluruh permohonan uji materi Iwakum dan menyatakan Pasal 8 UU Pers tetap memiliki kekuatan hukum mengikat, karena pasal tersebut telah sesuai dengan konsep negara hukum, menjaga keseimbangan antara kebebasan pers dan tanggung jawab hukum, serta menjamin perlindungan yang proporsional bagi wartawan tanpa mengorbankan kepentingan hukum umum.
“DPR RI memohon agar Mahkamah Konstitusi menolak permohonan a quo untuk seluruhnya dan menyatakan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak bertentangan dengan UUD 1945,” pungkas Rubianto.
(Abd/Tim)
















