Batam, ProLKN.id – Kasus pengosongan rumah yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri (PN) Batam dikawasan Anggrek Dalam No. 12, RT 001/RW 001, Kelurahan Baloi Indah, Kecamatan Lubuk Baja, Kota Batam, pada Kamis, (17/07/2025) yang lalu diduga tidak sesuai dengan prosedur hokum yang berlaku.
Pemilik Rumah, Ida Julyana tak kuasa menahan tangis saat konferensi pers bersama wartawan, menceritakan kisahnya yang mengaku menjadi korban praktik pinjam-meminjam dana yang berujung pada hilangnya sertifikat rumah miliknya tanpa sepengetahuan.
Peristiwa pahit ini bermula pada tahun 2015, ketika Ida terpaksa meminjam dana talangan sebesar Rp500 juta dari seorang individu bernama Rusdi.

Perjanjian pinjam-meminjam tersebut disahkan secara tertulis, bahkan disatukan dalam satu surat perjanjian. Dalam perjanjian itu, Ida sepakat dengan bunga pinjaman sebesar Rp60 juta per bulan. Ia bahkan telah memperhitungkan bunga untuk dua bulan pertama yang mencapai Rp120 juta.
“Saya sudah bilang ke dia, kalau mau ambil rumah saya, tolong kembalikan sisa uang saya. Nominal yang saya terima tidak sebanding dengan nilai rumah,” ujar Ida dengan nada pilu, Jumat (08/08/2025) saat jumpa pers dengan awak media.
Tanpa ada pemberitahuan resmi, pada tahun 2020, Ida terkejut mengetahui bahwa sertifikat rumahnya telah dialihkan ke nama Rusdi. Pengalihan aset ini dilakukan melalui seorang notaris bernama Yulianti.
“Saya baru diberi tahu lewat telepon pada tahun 2021. Tidak ada pemberitahuan resmi sebelumnya,” tuturnya.
Kasus ini sempat dibawa ke ranah hukum pada tahun 2022. Ida mengaku sempat memenangkan sidang pertama karena permintaan pihak lawan ditolak. Namun, beberapa bulan kemudian, perkara tersebut kembali diajukan. Ironisnya, Ida mengaku alamatnya telah dipalsukan sehingga ia tidak pernah menerima surat panggilan sidang kedua.
“Tahu-tahu, sudah ada PS (penetapan sita) ke rumah saya. Saya tidak pernah dihadirkan, dan tidak menerima surat dari pengadilan,” tegasnya.

Ida hanya menerima dua kali pemberitahuan dari pihak kepolisian, termasuk saat belasan anggota polisi mendatangi rumahnya pada Juni lalu untuk menyampaikan bahwa rumah tersebut harus dikosongkan pada 17 Juli. Eksekusi pengosongan rumah pun akhirnya dilakukan pada tanggal tersebut. Belakangan, rumah tersebut dikabarkan dijual melalui agen properti dengan harga fantastis, mencapai Rp1,5 miliar.
“Padahal, secara wanprestasi saya hanya meminjam Rp500 juta. Saya tidak tahu bagaimana bisa jadi seperti ini,” ucapnya.
Ida mengaku telah melaporkan kasus ini ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan berusaha mengonfirmasi langsung ke notaris yang menangani. Ia juga mempertanyakan adanya perbedaan identitas dalam dokumen pengadilan yang berkaitan dengan kasusnya.
“Saya hanya ingin menjelaskan yang sebenarnya. Kalau saya salah, saya minta maaf. Tapi tolong jangan lindungi pihak yang jelas-jelas merugikan saya,” ujarnya.
Dalam perjalanannya, Ida mengakui bahwa beban bunga yang tinggi membuat dirinya kesulitan untuk membayar. Ia mengaku telah berusaha keras untuk menunaikan kewajibannya, namun justru merasa semakin terhimpit. Hingga suatu hari, ia baru mengetahui bahwa sertifikat rumahnya telah berpindah tangan tanpa persetujuan dirinya.
“Saya tidak pernah menandatangani apapun untuk menyerahkan rumah itu,” ujarnya lirih.
Kepada pihak pengadilan, Ida menyampaikan harapan besar. Ia memohon agar setiap keputusan yang diambil benar-benar berlandaskan rasa keadilan dan tidak dipengaruhi oleh pihak-pihak tertentu. Menurutnya, masyarakat kecil yang awam hukum kerap kali menjadi korban karena tidak memahami prosedur dan celah hukum yang dimanfaatkan oleh oknum.
“Kalau seperti ini terjadi, siapa yang bertanggung jawab? Saya hanya ingin pertanggungjawaban itu jelas,” ucapnya.
Ida mengakui, dirinya memang pernah membuat kesalahan dalam perjanjian pinjam-meminjam tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa kesalahan itu tidak seharusnya dibayar dengan kehilangan harta yang menjadi satu-satunya tempat tinggalnya.
“Tidak begini caranya memperlakukan orang kecil seperti saya. Saya minta keadilan yang seadil-adilnya,” katanya sambil menahan tangis.
Kasus yang dialami Ida ini, menurutnya, menjadi gambaran nyata bagaimana praktik pinjam-meminjam dengan bunga tinggi, yang ia sebut sebagai rentenir, masih marak terjadi di masyarakat.
Ia berharap pengadilan tidak hanya memberikan putusan yang adil, tetapi juga menjadi pelajaran agar praktik semacam ini tidak lagi memakan korban berikutnya.
“Saya hanya ingin keadilan, dan agar tidak ada lagi orang lain yang mengalami nasib seperti saya,” pungkasnya.
Kasus Ida Julyana menjadi pengingat penting bagi semua pihak untuk lebih waspada terhadap berbagai modus penipuan dan praktik keuangan ilegal. Keadilan dan perlindungan bagi masyarakat, terutama yang rentan, harus menjadi prioritas utama dalam sistem hukum dan keuangan.
(Ardie)