Jakarta, ProLKN.id – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) bakal di mulai tahun depan (2026).
Proyek hilirisasi dari batu bara ini diharapkan dapat menjadi solusi pengganti impor LPG (Liquefied petroleum gas) yang saat ini masih sangat tinggi, sehingga mampu menekan beban neraca perdagangan dan meningkatkan kemandirian energi nasional.
Dengan dana investasi yang cukup besar dan potensi dampak ekonomi yang signifikan, proyek DME ini disebut sebagai salah satu langkah strategis dalam transformasi industri energi di Indonesia, khususnya dalam mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar rumah tangga.
Proyek ini juga diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan nilai tambah dari sumber daya alam yang dimiliki, serta mendorong pengembangan teknologi lokal dalam jangka panjang.
Bahlil mengatakan proyek hilirisasi batu bara ini masuk dalam 18 proyek hilirisasi yang saat ini sedang masuk tahap finalisasi oleh Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara).
Dalam proses tersebut, setiap proyek telah melalui berbagai tahapan evaluasi teknis, ekonomi, lingkungan, dan keselamatan, serta telah mendapatkan rekomendasi awal dari Tim Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional.
Ke-18 proyek tersebut merupakan bagian dari komitmen pemerintah untuk mengoptimalkan potensi sumber daya alam dalam negeri melalui pendekatan hilirisasi, yang tidak hanya menambah devisa negara, tetapi juga memperkuat ketahanan energi secara nasional.
Dalam konteks DME, proyek ini menjadi salah satu fokus utama karena potensinya untuk menggantikan LPG impor secara signifikan, terutama di daerah-daerah terpencil yang belum terjangkau jaringan gas alam.
Sebagai informasi, Tim Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional telah merampungkan pra studi kelayakan atau pra-Feasibility Study (pra-FS) 18 proyek hilirisasi dan juga telah diberikan kepada Danantara.
Proses pra-FS ini melibatkan tim ahli dari berbagai kementerian, lembaga, dan instansi terkait, serta melibatkan konsultan independen untuk memastikan keakuratan data dan kelayakan teknis serta finansial dari setiap proyek.
“Sekarang, dari pra FS itu dipelajari oleh konsultan untuk finalisasi di Danantara. Dari sekian banyak, 18 project itu salah satunya adalah DME,” ujar Bahlil saat ditemui wartawan usai acara Anugerah Subroto, di Jakarta, Jumat (24/10/2025) malam.
Ia menambahkan bahwa proses finalisasi ini juga mencakup penilaian terhadap risiko investasi, keberlanjutan lingkungan, serta kesiapan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk operasional proyek.
“Karena kita kan impor LPG contoh konsumsi lpg kita 8,5 juta ton, kapasitas produksi dalam negeri itu hanya 1,3 juta ton. Jadi kita impor sekitar 6,5 juta ton sampai 7 juta ton. Nah caranya bagaimana mengurangi impor adalah kita melahirkan substitusi impor melalui hilirisasi batu bara,” tambahnya.
Dengan produksi DME dari batu bara, Indonesia berpotensi memenuhi kebutuhan LPG domestik secara berkala, bahkan bisa mengekspor ke negara-negara tetangga jika volume produksi melebihi kebutuhan dalam negeri.
Selain itu, DME juga memiliki keunggulan sebagai bahan bakar bersih yang menghasilkan emisi karbon lebih rendah dibandingkan batu bara langsung, dan lebih aman dibandingkan LPG dalam hal penyimpanan dan transportasi, sehingga sangat cocok untuk digunakan di wilayah pedesaan dan terpencil.
Terkait teknologi yang bakal digunakan dalam proyek DME ini, Bahlil bilang kemungkinan besar akan menggunakan teknologi dari Eropa dan China yang dinilai cocok dengan Indonesia.
Teknologi dari Eropa dikenal dengan keandalan dan efisiensi energinya, sementara teknologi dari China lebih unggul dalam aspek biaya dan kecepatan implementasi, serta memiliki pengalaman dalam proyek-proyek serupa di Asia Tenggara.
Namun, ia mengatakan keputusan tersebut berada tangan Danantara, karena badan tersebut memiliki kewenangan penuh dalam menentukan mitra strategis, pemilihan teknologi, serta penilaian risiko secara keseluruhan.
“Ini mitranya nanti dengan Danantara, teknologinya kan macam-macam ya, teknologi dari China, itu, bisa juga dari Eropa,” pungkas Bahlil.
Ia menegaskan bahwa pilihan teknologi akan didasarkan pada pertimbangan kelayakan teknis, keselamatan, dampak lingkungan, serta kemampuan transfer teknologi ke dalam negeri, agar tidak terjadi ketergantungan jangka panjang pada pihak luar.
(Abd/Tim)
















