Jakarta, ProLKN.id – Badan Gizi Nasional (BGN) berencana membangun Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) langsung di area sekolah untuk wilayah terpencil, terluar, dan tertinggal (3T) sebagai bagian dari strategi perluasan akses terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang inklusif dan berkelanjutan.
Langkah ini dirancang untuk menjawab tantangan nyata dalam distribusi pangan yang merata di seluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah yang sulit dijangkau karena kondisi geografis yang ekstrem, jaringan transportasi yang minim, dan keterbatasan infrastruktur dasar.
Dengan membangun SPPG langsung di sekolah-sekolah di wilayah 3T, BGN berupaya menciptakan sistem pangan yang lebih responsif, adaptif, dan berbasis komunitas, sehingga anak-anak di daerah terpencil tidak lagi menjadi bagian dari kesenjangan akses nutrisi yang selama ini terjadi.

Pendekatan ini juga sejalan dengan visi pemerintah dalam mewujudkan kemandirian pangan lokal dan ketahanan pangan nasional yang lebih kuat, khususnya di tengah tantangan perubahan iklim, fluktuasi harga bahan pangan global, dan ancaman bencana alam yang sering terjadi di wilayah-wilayah terpencil.
Juru Bicara BGN Dian Fatwa mengungkapkan bahwa langkah ini diambil agar distribusi program Makan Bergizi Gratis (MBG) tetap efektif meski berada di daerah dengan akses terbatas, infrastruktur yang minim, dan kondisi geografis yang sulit dijangkau oleh sistem logistik tradisional. Dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat (24/10/2025).
Dian menekankan bahwa tantangan dalam mendistribusikan makanan bergizi ke daerah terpencil bukan hanya soal jarak, tetapi juga soal waktu, kualitas bahan pangan yang harus tetap terjaga selama perjalanan, serta keberlanjutan operasional sistem logistik yang sering kali terganggu akibat cuaca buruk atau kerusakan infrastruktur.
Oleh karena itu, pendekatan sentralisasi dengan mengandalkan dapur pusat menjadi tidak efisien dan rentan terhadap gangguan.
“Sebetulnya (Ibu Negara Brasil, Janja Lula da Silva) sempat menanyakan soal membuat SPPG di sekolah, karena mereka melakukannya seperti itu,” ujar Dian di Jakarta, Jumat (24/10/2025).
Ia menjelaskan bahwa kunjungan Ibu Negara Brasil ke Indonesia memberi inspirasi besar dalam merancang sistem pangan yang lebih dekat dengan masyarakat lokal.
“Nah, kami akan melakukannya nanti di daerah terpencil, daerah 3T,” lanjutnya, menekankan bahwa inisiatif ini bukan hanya respons terhadap tantangan logistik, tetapi juga bentuk komitmen untuk memastikan setiap anak di seluruh penjuru Nusantara mendapatkan nutrisi yang layak tanpa tergantung pada jarak atau kondisi wilayah.
Dengan demikian, SPPG di sekolah bukan sekadar tempat memasak, melainkan pusat pelayanan gizi yang menjadi simbol keadilan distribusi pangan dan hak dasar anak atas asupan gizi yang memadai.
Menurut Dian, pendekatan tersebut disesuaikan dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki tantangan besar dalam distribusi pangan, terutama di wilayah yang terpisah oleh laut, gunung, atau hutan lebat.

Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau, dengan ribuan di antaranya belum terjangkau oleh jaringan transportasi darat yang memadai, dan banyak daerah yang hanya bisa diakses melalui perjalanan laut yang memakan waktu berhari-hari atau melalui jalur darat yang berbahaya dan berbatu.
Hal ini menjadikan sistem distribusi pangan dari pusat menjadi sangat rentan terhadap keterlambatan, kerusakan, dan bahkan kehilangan bahan pangan akibat perubahan kondisi cuaca.
“Untuk di wilayah urban, populasinya cukup besar sehingga kita harus melakukannya secara masif dan cepat untuk menjaga keamanan makanan itu sendiri,” jelasnya.
Namun, di wilayah 3T, pendekatan yang sama tidak dapat diterapkan karena sifatnya yang tidak efisien dan tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, pendekatan lokal melalui SPPG di sekolah menjadi solusi yang lebih realistis dan berkelanjutan.
Standarisasi ini tidak mudah, karena sekarang hampir 13.000 dapur harus kita awasi bersama di seluruh nusantara. Ini bukan pekerjaan sederhana, mengingat kita negara kepulauan dengan ribuan pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, dan setiap daerah memiliki kondisi yang unik dalam hal akses, transportasi, serta keberlanjutan sumber daya.
Keterlibatan pemerintah daerah, tokoh adat, dan komunitas lokal menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga konsistensi kualitas dan keamanan pangan di seluruh wilayah.
Ia menambahkan bahwa pengawasan terhadap kualitas, keamanan, dan keberlangsungan pangan harus dilakukan secara intensif dan terpadu, bukan hanya dari segi teknis, tetapi juga dari aspek keberlanjutan sosial dan lingkungan. Sistem ini harus mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan nutrisi anak-anak, perlindungan terhadap lingkungan, serta pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Keterjangkauan dan Keamanan Pangan Nani Hendiarti menambahkan, pembangunan dapur langsung di sekolah akan difokuskan pada wilayah dengan jarak tempuh jauh dan akses transportasi terbatas, seperti di pulau-pulau kecil, daerah pegunungan tinggi, atau wilayah yang hanya bisa dijangkau melalui jalur darat yang sulit atau perjalanan laut yang memakan waktu berhari-hari.
“Tapi nanti yang terpencil itu akan diterapkan (SPPG dalam area sekolah), karena jaraknya memang jauh. Jadi tidak mungkin kalau harus kirim dari dapur pusat,” jelas Nani. Ia menekankan bahwa pendekatan lokal ini tidak hanya mempercepat distribusi makanan, tetapi juga membangun ketahanan pangan yang lebih kuat dan tangguh terhadap gangguan eksternal seperti cuaca buruk, bencana alam, atau keterlambatan logistik.
Dengan SPPG di sekolah, setiap daerah memiliki sistem pangan mandiri yang bisa beroperasi meskipun terputus dari jaringan distribusi nasional. Hal ini sangat penting dalam menghadapi risiko bencana alam yang sering terjadi di wilayah 3T, seperti banjir, tanah longsor, dan erupsi gunung berapi.
Dengan adanya dapur lokal yang beroperasi secara stabil, anak-anak tetap bisa mendapatkan makanan bergizi bahkan saat sistem logistik terganggu. Ia juga menuturkan bahwa sistem di Brasil memberi inspirasi tambahan karena pemberdayaan perempuan sangat menonjol dalam pelaksanaan program.
“Yang saya ingat dari Ibu Negara, yang masak itu semua di sana ibu-ibu. Semuanya perempuan,” tegas Nani.
Ia menjelaskan bahwa dalam sistem Brasil, perempuan dari komunitas setempat diikutsertakan secara aktif dalam proses produksi makanan, mulai dari pengumpulan bahan baku hingga persiapan dan penyajian, yang tidak hanya meningkatkan partisipasi sosial, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan berkelanjutan.
“Kami melihat bahwa dengan melibatkan ibu-ibu di daerah 3T dalam SPPG, bukan hanya makanan yang sampai ke anak-anak, tapi juga kesempatan ekonomi, keterampilan, dan rasa memiliki terhadap program ini,” imbuhnya.
Dengan demikian, SPPG di area sekolah bukan hanya solusi distribusi pangan, tetapi juga alat pemberdayaan masyarakat lokal, khususnya perempuan, sekaligus memperkuat jaringan sosial dan ekonomi di wilayah terpencil.
Melalui pendekatan ini, program MBG tidak lagi hanya tentang menyediakan makanan, tetapi juga tentang membangun masa depan yang lebih adil, mandiri, dan berkelanjutan bagi seluruh anak-anak Indonesia, terlepas dari lokasi geografis mereka.
(*/red)
















