Bintan, ProLKN.id – Rencana ambisius pembangunan Bintan International Circuit (BIC) di kawasan wisata Lagoi, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, yang digadang-gadang menjadi sirkuit Formula 1 (F1) kedua di Indonesia, kini menghadapi ketidakpastian.
Proyek ambisius ini, yang diharapkan membawa dampak besar bagi pariwisata dan ekonomi daerah, kini menghadapi ketidakpastian menyusul belum adanya realisasi hingga tahun 2025.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat, terutama warga Lagoi yang sangat menantikan terwujudnya sirkuit tersebut.
Kepastian mengenai kelanjutan proyek ini tampaknya masih jauh dari genggaman, meskipun inisiasi awalnya disambut antusiasme tinggi.
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) sendiri mengakui bahwa pembahasan lanjutan mengenai sirkuit F1 ini belum mengalami perkembangan signifikan.
Hal ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi, terutama terkait pendanaan dan kompleksitas regulasi ajang sekelas F1, menjadi hambatan besar yang perlu diatasi sebelum mimpi ini dapat terwujud.
Gagasan mendirikan sirkuit berstandar internasional di Bintan pertama kali diusung oleh PT Bintan Resort Cakrawala (BRC) pada tahun 2022. I
nisiatif ini muncul tak lama setelah keberhasilan pembangunan Sirkuit Internasional Mandalika di Lombok, yang menjadi inspirasi utama bagi pengembangan infrastruktur olahraga otomotif di Indonesia.
Pembangunan di Bintan ini sempat diproyeksikan menjadi “Green Circuit” pertama di Indonesia, menekankan konsep ramah lingkungan yang selaras dengan isu pembangunan berkelanjutan prioritas G20.
Kawasan Lagoi yang strategis ini diharapkan mampu mendukung kebutuhan logistik dan akomodasi yang dibutuhkan oleh event balap kelas dunia.

Frans Gunara, Vice President Director Bintan Resorts, secara terbuka menyampaikan bahwa anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan sirkuit F1 sangatlah besar.
“Budget-nya sangat besar sekali,” ujar Frans dikutip dari keterangannya pada awak media, Senin (06/10/2025).
Kompleksitas penyelenggaraan F1 tidak hanya terletak pada pembangunan fisik lintasan, tetapi juga pada pemenuhan lisensi dan standar keamanan internasional yang sangat ketat.
Frans Gunara menjelaskan bahwa hanya sedikit lokasi di seluruh dunia yang sanggup menanggung biaya penyelenggaraan F1, mengingat tuntutan investasi besar di sektor infrastruktur pendukung, keamanan, dan fasilitas lainnya.
Selain itu, pembangunan sirkuit F1 memerlukan lahan yang luas, dengan estimasi kebutuhan mencapai 100 hektare.
“Pembangunan sirkuit F1 ini membutuhkan lahan 100 hektare,” papar Frans.
Kebutuhan lahan yang masif ini menjadi pertimbangan penting, terutama mengingat sirkuit direncanakan berdekatan dengan kawasan konservasi hutan bakau di Lagoi Bay.
Menghadapi tantangan biaya dan kompleksitas penyelenggaraan F1, Bintan Resorts tampaknya mulai mengalihkan fokus atau setidaknya memprioritaskan rencana yang lebih realistis dalam jangka pendek.
Frans Gunara mengungkapkan bahwa rencana mereka saat ini adalah membangun race track atau lintasan balap eksklusif, yang berbeda konsepnya dengan sirkuit F1 profesional.
Lintasan balap ini ditujukan untuk pengalaman balap bagi kalangan khusus, bukan untuk ajang balap resmi seperti Formula 1.
“Kita rencana bangun race track saja. Kalau F1 belum tahu kapan bisa dibangun,” ungkap Frans.
Perbedaan mendasar antara race track eksklusif dan sirkuit F1 terletak pada standar homologasi, infrastruktur pendukung, dan kapasitas penonton yang dibutuhkan.
Membangun sirkuit yang memenuhi standar FIA Grade 1 untuk F1 memerlukan investasi yang jauh lebih besar dibandingkan lintasan balap yang lebih sederhana.
Rencana pembangunan lintasan balap eksklusif ini menunjukkan adanya adaptasi terhadap realitas finansial yang dihadapi oleh pihak pengembang.
Frans Gunara menegaskan bahwa rencana pembangunan race track eksklusif tetap berjalan, namun untuk jadwal pasti pembangunan sirkuit F1, ia menyatakan belum ada kepastian kapan dapat dibangun.
Hal ini memberikan sedikit kejelasan bahwa pengembangan fasilitas otomotif di Lagoi tetap menjadi bagian dari rencana jangka panjang kawasan tersebut, meskipun dalam skala yang lebih moderat.
(Ach/Tim)